Pinocchio: Journalism dalam Drama Korea

Pinocchio: Journalism dalam Drama Korea

topmetro.news – Beberapa waktu lalu, sebanyak 53 orang prajurit Angkatan Laut Republik Indonesia yang bertugas di Kapal Selam KRI Nanggala (402) dinyatakan gugur di laut. KRI Nanggala yang sedang berpatroli di perairan utara Bali, tiba-tiba kehilangan daya listrik sehingga kehilangan kendali. KRI Nanggala 402 pun terseret gelombang soliter sampai ke kedalaman 838 meter. Gelombang soliter adalah gelombang bawah air yang terjadi ketika dua kedalaman laut yang berbeda bertemu sehingga menghasilkan tarikan dan dorongan yang kuat dan berbahaya.

Setelah itu seperti yang sudah diketahui bersama, masyarakat Indonesia seperti bersedih bersama-sama. Emosinya teraduk-aduk. Simpati dan bela sungkawa bertebaran di media sosial. Do’a juga dihaturkan baik untuk prajuri yang meninggal maupun bagi keluarga yang ditinggalkan. Pemerintah pastinya bergerak lebih dari itu. Selain menyampaikan berbagai penghargaan terhadap para prajurit yang meninggal, jaminan pendidikan pun diberikan bagi anak-anak prajurit yang meninggal.

Pastinya tidak ada yang keliru dengan respon diatas. Kebanyakan orang yang menonton berita tenggelamnya KRI Nanggala dan membayangkan diri sendiri dalam posisi keluarga para prajurit tersebut, pasti akan ikut sedih dan berempati. Terlebih ketika diurai lebih dalam resiko apa saja yang mesti dihadapi para pelaut ketika menjalankan tugas di kedalaman laut. Karena seperti itulah hidup bermasyarakat dan berbangsa. Kita akan ikut terluka dan berduka ketika melihat sesama terluka.

Hanya saja yang menjadi pertanyaan, kenapa respon seperti itu yang dominan? Kita memang harus bersedih, ketika melihat prajurit yang meninggal dalam menjalankan tugas. Terlebih bukan di masa perang. Namun kenapa kita tidak merasa perlu marah melihat prajurit yang meninggal justru bukan di masa perang. Apakah karena resiko menjadi prajurit itu adalah kematian lalu ketika kematian menimpa mereka, kita merasa tidak perlu bertanya tentang siapa yang bertanggung jawab.

Adalah tidak keliru bila masyarakat yang tersentuh dengan peristiwa tersebut, lalu bergotong royong mengumpulkan uang untuk membeli Kapal Selam bagi Angkatan Laut kita. Namun orang jadi absen untuk bertanya bagaimana pengadaan alutista di Republik ini. Kenapa sampai ada Kapal Selam yang sudah tua masih tetap dipakai sehingga mendatangkan maut bagi para prajurit angkatan laut kita.

Mungkin pertanyaan-pertanyaan diatas terasa usil dan tidak menunjukan rasa empatik di kala duka. Meskipun bukan pertanyaan filosofis, tapi menganggu seperti gadfly. Namun justru dari pertanyaan-pertanyaan seperti itulah kita bisa menghindarkan diri dari kedukaan untuk kasus yang sama di masa yang akan datang. Lebih dari itu, karena dari pertanyaan-pertanyaan seperti itulah kita akan menemukan banyaknya bolong-bolong yang mestinya segera diperbaiki untuk menghindarkan kedukaan yang jauh lebih dalam dan perih.

Karena pertanyaan-pertanyaan seperti ini luput dikemukakan, kita jadi tidak melihat keterkaitan antara tenggelamnya KRI Nanggala 402 dengan politik anggaran, penanganan pandemi atau pertumbuhan ekonomi di masa pandemi.

Sebagaimana diketahui, tenggelamnya KRI Nanggala terjadi di masa Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19. Selain ancaman nyawa, efek paling nyata dari pandemi adalah terjadinya guncangan ekonomi. Karenanya konsentrasi pemerintah pun terpecah. Tidak hanya menyelematkan nyawa yang terancam, tetapi juga menyelematkan ekonomi.

Tidak seperti masa normal yang melihat kestabilan ekonomi sebagai indikator keberhasilan kinerja ekonomi nasional, maka menghindarkan ekonomi dari resesi dan menjaga ekonomi tetap di garis positif, adalah indikator keberhasilan ekonomi di masa krisis seperti sekarang. Syukur-syukur bila ekonomi tumbuh positif seperti masa normal.

Karena dalam krisis ekonomi daya beli masyarakat turun drastis, sementara konsumsi adalah penopang pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah pun melakukan berbagai macam kebijakan fiskal demi memperkuat daya beli. Disamping berbagai macam penurunan pajak dan bantuan langsung masyarakat, government expenditure, belanja pemerintah, adalah instrument penting dalam mendongkrak daya beli masyarakat. Government expenditure didorong sedemikian rupa sehingga memperkuat sisi demand yang terpuruk karena krisis.

Sementara itu, Indonesia kerap dianggap sebagai negara yang selalu bisa keluar dari krisis ekonomi. Seperti sukses nya keluar dari krisis ekonomi di tahun 2008 yang disebabkan guncang nya pasar keuangan di Amerika. Namun di sisi lain, Hanya saja Indonesia juga dianggap negara yang kerap membutuhkan waktu recovery dari krisis ekonomi yang cukup panjang. Berhasil keluar dari krisis, tapi sulit mencapai keadaan ekonomi seperti sebelum krisis. Recovery time yang lama dari krisis, itu seperti orang berpenghasilan 10 Juta per bulan lalu pendapatannya jatuh menjadi minus tapi berhasil keluar dari krisis sehingga tidak bankrut, gila atau stress. Hanya saja membutuhkan waktu lebih lama untuk mempunyai penghasilan seperti sedia kala.

Untuk mempersiapkan diri menghadapi masa recovery yang juga sangat penting pasca keluar dari krisis, karenanya bisa difahami bila pemerintah tetap menggenjot berbagai projek infastruktur. Selain untuk menjaga aktivitas ekonomi tetap berjalan, infrastruktur adalah instrumen penting untuk memperpendek recovery time. Pembangunan jalan dan jembatan harus tetap berjalan karena pasca krisis, infrastruktur transportasi itu akan memperlancar distribusi barang dan jasa.

Hanya saja kita mungkin akan mengernyitkan dahi ketika melihat kebijakan anggaran yang dilakukan di masa krisis ini. Kita mungkin bisa memahami ada pemotongan anggaran bagi Kementrian PUPR untuk penanganan Covid-19. Meski kementrian ini menangani infrastruktur. Hanya saja kenapa pada saat yang sama pemotongan anggaran terhadap Kementrian Pertahanan menunjukan angka yang sangat timpang. Dari anggaraan total Rp 149,8 Triliun ada pemotongan sebanyak Rp 17,9 Triliun. Sementara dari Rp 137,3 Triliun anggaran Kemenhan, ada potongan sebanyak Rp 23,16 miliar untuk penanganan Covid.

Kenapa ada ketimpangan potongan anggaran antara Kemenhan dan Kementrian PUPR. Bukankah kebanyakan belanja Kementrian Pertahanan itu belanja luar negeri, pembelian alutista, sehingga tidak memperkuat konsumsi dalam negeri yang sedang menjadi masalah di masa krisis. Anggap saja ini adalah prioritas untuk pembenahan alutista kita dan itu tidak hanya dilakukan pemerintah pada tahun ini saja. Tapi kenapa ketika pembenahan alutista sudah menjadi perhatian masih ada prajurit kita yang meninggal bukan di masa perang karena Kapal yang tidak layak.

Pertanyaan-pertanyaan diatas minim muncul ke permukaan. Karena masyarakat kita yang penuh dengan empati dan simpati, terseret kedukaan meninggalnya prajurit-prajurit Angkatan Laut kita.

Bila kita kembali lagi ke masa-masa awal situasi ini, maka kita akan menemukan bahwa media lah yang menyeret masyarakat kita dalam situasi seperti ini. Mayoritas media memunculkan berita tentang tenggelamnya KRI Nanggala. Mulai dari penyebabnya, analisis teknis sampai kondisi keluarga yang ditinggalkan para prajurit itu. Kita sulit menemukan media yang mempertanyakan tentang siapakah yang bertanggung jawab dan kekeliruan kebijakan apa yang menyebabkan hal ini terjadi.

Padahal seperti itulah diantara tugas jurnalistik. Membangun public discourse untuk kehidupan yang lebih baik. Jurnalistik tidak hanya sekedar mewartakan sesuatu yang diinginkan masyarakat, tetapi apa yang seharusnya diketahui masyarakat. Bila media dikatakan sebagai pilar ke-4 demokrasi, maka warta yang disampaikan mestinya menopang kehidupan yang lebih demokratis.

Disamping kehidupan muda-mudi yang menjadi bumbu dalam setiap Drama Korea, maka gambaran itulah yang muncul dalam Drama Korea berjudul Pinnochio ini. Sebuah Drama Korea yang dirilis pertama kali pada tahun 2014 dan sampai sekarang masih ditayangkan netflix. Pinnochio mengungkapkan salah satu sisi kehidupan dunia jurnalistik yang seharusnya dilakukan.

Dalam Pinnochio, Dal-Po (Lee Jong-Sok) adalah representasi bagaimana seharusnya jurnalis bekerja. Meski motivasi awal menjadi wartawan adalah dendam sejarah, Dal-Po bisa memilah mana yang seharusnya diberitakan dan tidak diberitakan. Figur Dal-Po bukan hanya menyiratkan bahwa jurnalis itu seorang pekerja keras tapi juga orang cerdas. Dal-Po mungkin tidak menunjukan bagaimana tekhnik menulis yang baik, tapi figur nya menunjukan ke arah mana sebetulnya aktivitas jurnalistik itu diarahkan.

Pinnochio sendiri adalah julukan Cho In-Ha (Park Shin-Hye) yang mengalami sindrom Pinokio. Sebuah sindrom dimana In-Ha akan selalu segukan bila dia berbohong. Sindrom Pinokio yang dialami In-Ha bukan hanya membuatnya menjadi orang jujur, tapi juga memudahkan orang akan mendeteksi setiap kebohongan yang dilakukan In-Ha.

In-Ha sendiri sejak SMA bercita-cita menjadi jurnalis. Berbeda dengan Dal-Po yang berhasil menjadi wartawan meski tidak pernah kuliah di Jurnalistik, In-Ha susah mendapat pekerjaan menjadi wartawan meski pernah kuliah Jurnalistik. Pimpinan media tidak bisa menerima In-Ha sebagai wartawan karena memiliki sindrom pinokio. Selain secara tekhnis wartawan tidak boleh cegukan ketika melaksanakan tugas, profil In-Ha yang tidak suka berbohong sangat sulit diterima media.

In-Ha sendiri pada akhirnya bisa menjadi wartawan karena sindrom pinokionya. Sebuah media yang sedang menaikan rating pemberitaan, meski redaktur nya kerap membuat kebohongan ketika membuat berita, membutuhkan figur In-Ha. Sindrom pinokio yang dialami In-Ha akan dikapitalisasi oleh media tersebut untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka hanya mewartakan kebenaran.

Namun bagi Dal-Po, sindrom pinokio yang dialami In-Ha mempunyai makna lain dalam aktivitas jurnalistik. Menurut Dal-Po orang yang mempunyai sindro pinokio tidak boleh menjadi wartawan karena ucapannya akan selalu dianggap benar oleh masyarakat sementara media juga kerap berbohong.

Bila kita bandingkan Pinnochio dengan “All The President’s Man”, Pinnochio seperti memberi gambaran yang lebih lengkap tentang apa itu media. Dalam “All The President’s Man” yang dirilis Warner Bross tahun 1976, media adalah institusi yang sangat heroik. Wartawan Washington Post berhasil membongkar skandal Water Gate yang melibatkan Presiden Amerika. Namun dalam Pinnochio, media bukan hanya institusi heroik yang membongkar skandal yang melibatkan penguasa dan pengusaha di Korea, tetapi media juga menjadi bagian dari skandal yang dirancang oleh para pengusaha dan penguasa. Karena pemberitaan media lah maka sebuah keluarga baik-baik, hancur berantakan.

Hal menarik lain dari Pinnochio adalah gambarannya tentang konflik-konflik yang terjadi di media. Melihat konflik-konflik yang digambarkan Pinnochio, kita akan mengingat sebuah karikatural berjudul “The Pyramid of Capitalist System” tahun 1911 yang dibuat karena terinspirasi ide Nicolas Lokhoff. Seorang karikatural dari Russia yang pada tahun 1901 membuat karikatur berjudul “Social Pyramid”

Dalam “The Pyramid of Capitlist System” digambarkan adanya lima kelompok masyarakat yang berjenjang secara bertingkat. Diluar ke-5 kelompok masyarakat tersebut ada sebuah kantong uang yang ada diatas pucuk paling atas dengan tulisan “Capitalism”. Dibawahnya ada orang bergambar Raja dan Pengusaha dengan semboyan “We Rule You”. Pada tingkat kedua ada gambar agamawan dan orang memegang buku dengan semboyan “We Fool You”. Tingkat paling bawah ada sekelompok orang bersenjata dengan semboyan “We Shoot You”. Dibawahnya lagi ada sekelompok orang yang sedang makan dengan semboyan “We Eat For You”. Sementara paling bawah ada masyarakat kebanyakan yang sedang berjuang keras menopang piramida itu tetap berdiri dengan semboyan “We Work For All” dan “We Feed For All”

Dalam Pinnochio, masyarakat dan reporter lapangan seperti berada dalam lapisan masyarakat yang paling bawah. Konflik yang terjadi antara mereka terjadi karena diatur oleh orang yang berada di piramida paling atas untuk kepentingan mereka.

sumber | Rilis

Related posts

Leave a Comment